OLEH
HAMAH SAGRIM
A.
Membangun Rumah Keselamatan
Bangsa Papua
Rumah
keselamatan bangsa Papua adalah Intelektual Rohaniah dan intelektual sains.
Untuk memahami esensi rohani, orang Papua harus dididik menjadi pandai terlebih
dahulu. Ilmu didik yang diajarkan haruslah sesuai dengan maksud Tuhan yang dilimpahkan
kepada manusia Papua seutuhnya di atas tanah Papua seanteronya. Atas dasar
inilah I.S. Kijne berpendirian bahwa:
“Anak-anak Papua harus
didirikan sebuah sekolah yang semestinya bagi mereka dan bukan sekedar sebuah
tiruan dan mereka harus dipisahkan dari anak-anak amberi”.
Inilah
konsep awal untuk mendirikan rumah keselamatan bangsa Papua sebenarnya yang
telah disampaikan oleh Pdt. Dominee I.S. Kijne ketika berada di Miei. Dari
rumah keselamatan itu, I.S. Kijne mengajarkan ideologi bangsa Papua untuk “….Bangkit
dan Memimpin dirinya sendiri” yang
begitu universal. Doktrin pengajaran diawali dengan Tuhan. “Barang
siapa bekerja di tanah ini dengan takut akan Tuhan, sungguh-sungguh,
dengar-dengaran, dan setia, ia akan mendapat tanda heran yang satu ke tanda
heran yang lain”.
Konsepsi
I.S. Kijne sebagai fondasi raksasa ideologi universal Papua yang hidup, kontekstual,
aktual mengejawantah di ruang kehidupan masyarakat dalam kerangka keimanan
Tuhan Ellohim yang asli, untuk mengkonstruksikan “bangunan kesadaran ke’Papuaan
terhadap TUHAN Ellohim Israel yang holistik” dengan “elemen-elemen struktur
kesadarannya pada lima bidang yang ditetapkan oleh Dominee I.S. Kijne yaitu; orang
Papua dididik untuk pandai berpikir, pandai bernyanyi, pandai bekerja, pandai melukis, dan
pandai mengukir, sebagai bidang strategis kehidupan menuju kemandirian
yang beradab”. Sebagaimana ucapannya
ketika ia tiba pertama kalinya di mansinam bahwa “anak-anak Papua sangat rajin
sehingga mereka bisa bekerja untuk negerinya sendiri”. Sebuah
pernyataan doktrin yang hebat untuk spirit membangun “masyarakat sejati Papua
yang madani-berkeadaban” (sebagai megaproyek kebangsaan Papua jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang), dengan fitrah dimensi roh kebangsaan Papua.
Dari
tokoh-tokoh zendeling di bumi cenderawasi ini, orang Papua harus bergegas
bangkit mentransendensikan serta mensinergikan, mengkonsolidasikan dan mensintesakan
maupun mensenyawakan, doa sulung Dominee Izaak Samuel Kijne yang diterapkan
dalam strategi atau model pengajarannya yang cenderung memberikan pencerahan
kepada orang Papua untuk bangkit dan bersaing menuju peradabannya, dengan
harapan penting bahwa orang Papua bisa bekerja untuk dirinya sendiri dengan mengambil
roh ke’Papuaan demi kepentingan umum bangsa Papuanya.
Orang
Papua harus ambil kesatuan tanah air Papua melalui sistem kekerabatan, ambil transformasi
kebudayaan, peradaban dan eksperimen demokrasi kesukuan yang ada dengan hikmah
yang bijaksana dan arif, perlu juga diambil sistem kekuasaan pria berwibawa, ambil
hikmah ajaran nasionalis, agama, nilai-nilai komunal kehidupan sosial universal
kepapuaan, ambil doktrin roh pertahanan dan keamanan komunual ala kepemimpinan
pria berwibawa, ambil ekonomi kerakyatan pria berwibawa yang berkeadilan dan berkeadaban,
ambil roh pendidikan tradisional dan roh pendidikan sekolah normale model Kijne
untuk membentuk orang Papua yang beradab sebagai manusia seutuhnya, ambil kesadaran
spiritualitas kesejatian - teosofi transenden yang diajarkan oleh I.S. Kijne ketika memulai pengajaran dan pendidikannya
di Miei hingga ke Joka-Sentani, Jayapura, ambil pula sistem kepemimpinan pria
berwibawa yang notabene tahtanya untuk rakyat dan sukunya, ambil pula khazanah filsafat kehidupan tradisional orang
Papua. Founding peradaban berbasis
kerangka konstitusi doa sulung I.S. Kijne sesungguhnya dan etika adiluhung
Papua, ambil kesadaran Filosofi dan paradigma masyarakat sejati Papua yang madani
dan berperadaban tinggi, dengan kesadaran filosofi teosofi Transenden dengan Hikmah
roh pluralisme kemajemukan Papua dimana semua Papua itu satu, dan satu Papua
untuk semua suku bangsanya dalam simbol kebhinekaan Papua sesungguhnya dengan
penuh demokratisasi yang berhikmah dalam kebijaksanaan yang arif penuh iman percaya,
maka terwujudlah bangunan kesadaran kepapuaan
yang holistic dalam pandangan yang saya sebut membangun ruh keselamatan bangsa
Papua.
Identitas
Papua adalah sistem nilai yang sangat dihargai oleh TUHAN. Identitas merupakan
standard nilai yang ditentukan langsung oleh Ellohim. Dominee I.S. Kijne
memahami standart itu sehingga mewujudkannya dengan cara mendidik orang Papua
tidak dengan konsep pendidikan dari dunia lain tetapi konsep atau model
pendidikan yang semestinya lahir dari identitas Papua itu sendiri dengan
berguru pada Rohul Kudus sebagai guru agung Papua, karena bangsa Papua memiliki
segudang ilmu pengetahuan yang luarbiasa, kuncinya ada pada bagaimana mendidik mereka tahu baca, hitung,
bermain musik, melukis, menulis, mengukir, berpikir, dan bekerja, sehingga
ketika dasar-dasar itu telah diketahui, maka orang Papua akan dengan sendirinya
berkembang sesuai perkembangan zaman. Kebudayaan Papua adalah bagian dari
berkat Tuhan yang diberikan bagi orang Papua. Sangat berdosa, bahkan sangatlah
miskin bilamana orang Papua cenderung mengambil budaya orang lain yang bukan
bagiannya karena Ellohim akan mengurangi nilai bagi orang Papua karena itu
bukan milik dia. (Matius 20:14). Ellohim sudah memberi kepada setiap suku
bangsa bagian-bagiannya, baik itu budaya, bahasa, laut, tanah dan sebagainya
bagi mereka masing-masing bahkan Ia berdiam didalamnya secara rahasia pada sisi-sisi keilahian-Nya yang berbeda itu. jika
bangsa Papua tidak menghormati budaya bangsanya sebagai identitas Papua,
sia-sialah keberadaan bangsa Papua, karena apa arti sebuah bangsa jika tidak
mempunyai identitas? Itu seperti kehidupan tanpa roh, atau pohon tanpa akar, mobil
tanpa merek atau produk-produk yang tidak mempunyai label. Setiap tumbuhan yang
tidak memiliki akar akan mati, produk yang tidak memiliki label akan dibuang ke
tempat sampah untuk dibakar musnah, Tuhan akan menerima suku bangsa yang
memiliki label. Mengenai identitas adat bukanlah sesuatu yang tabu tetapi adat
adalah undang-undang Tuhan. Dominee Izaak Samuel Kijne menyampaikan kepada
orang Papua dalam nyanyian Mazmur 81: 4
Adat inilah
undang-undang Tuhan;
Israel telah
Memegangnya T’rus
Sejak ditebus
Dari perhambaan
Dahhulu Israel menghormati adatistiadat
mereka, Yesus putra Yahudi sejati berkata, Aku datang bukan untuk meniadakan
hukum taurat melainkan untuk menggenapinya. Adatistiadat di atas tanah ini
adalah kekayaan yang dipersiapkan untuk kemuliaan bagi Tuhan, apa yang sekarang
ada, dahulu telah ada dan Tuhan mencari hal itu. Suku-suku di Papua sangat
memegang teguh adatistiadat mereka, dan adat Papua sebagai undang-undang yang
digunakan untuk menghakimi dan membenarkan perbuatan mereka.
B. I.S. Kijne dan kelahiran
Nasionalisme Papua –
Nasionalisme Papua awalnya terbangun melalui didikan misionaris gereja. Pada tahun 1855 Ottow dan Geisler tiba di Mansinam dan doa sulung mereka adalah “Dengan nama Tuhan kami menapaki kaki di tanah ini”, doa tersebut dianggap sebagai Proklamasi Nama Tuhan di atas tanah Papua. Proklamasi itu dipandang sebagai doa sulung orang Papua dalam perkembangan peradaban yang dipakai sebagai kata-kata doktrin nasionalisme orang Papua, bahwa nama yang terdengar pertama oleh tanah ini adalah nama Tuhan, dan juga setiap bangsa yang mendengar nama Tuhan secara sah Tuhan kawal mereka. Dengan demikian bahwa oleh karena Papua nama Tuhan disebut, maka mulai dari saat itu TUHAN kawal Papua.
Tuhan kawal Tanah Papua untuk kepentingan Dia – Tuhan membangkitkan Papua untuk manivesto kedatangan-Nya. Tuhan mengubah Papua demi kepentingan-Nya, Tuhan menjaga Papua secara khusus demi kepentingan-Nya, Tuhan melindungi Papua demi kepentingan-Nya.
Kecintaan terhadap Papua semakin kuat lagi ketika maklumat Aitumieri oleh Dominee Ishak Samuel Kijne “Sekalipun bangsa lain memiliki kepandaian dan marifat tinggi tetapi mereka tidak dapat memimpin bangsa ini, namun bangsa ini akan bangkit memimpin dirinya sendiri”, selanjutnya tokoh zendeling gereja terus mendidik orang Papua dengan materi didik berwawasan kepapuaan. Bahkan adanya suatu kekuatan besar yang digagas oleh Dominee Isak Samuel Kijne bahwa “Orang Papua sangat rajin, sehingga mereka harus didirikan sebuah sekolah yang semestinya bagi mereka yang bukan sekedar suatu tiruan, dan didiklah mereka untuk pandai berpikir, pandai bernyanyi, pandai menghitung, pandai melukis dan pandai mengukir, maka suatu kelak mereka akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”.
Pernyataan-pernyataan ini sebagai cikal bakal lahirnya kecintaan orang Papua terhadap dirinya, kepercayaan diri, kecintaan terhadap tanahnya Papua. Inilah yang saya lihat sebagai awal kelahiran nasionalisme Papua. Selain pernyataan maklumat dan deklarasi iman, para tokoh zendeling sangat bersungguh-sungguh mendidik orang Papua dengan konsep membangun kesadaran mereka terhadap identitas dirinya yang benar-benar utuh dan tak terganggu oleh pemikiran luar dengan pemahaman-pemahaman yang benar -benar berisi identitas kepapuaan secara utuh. Hal itu bukan sekedar didikan kosong melainkan diciptakanlah materi didik seperti buku-buku dan nyanyian yang dipakai. Salah satu nyanyian nasional orang Papua diciptakan oleh zendeling Dominee I.S. Kijne adalah SERULING MAS dan salah satu lagu yang dipakai sebagai lagu kebangsaan Papua adalah lagu “Hai Tanahku Papua”.
Setelah itu, pada tahun 1962, pemerintah Hindia Belanda meletakkan suatu fondasi kebangsaan “the nation Foundations” bagi orang Papua. Disini lahirlah patriotisme orang Papua yang sangat nasionalis terhadap bangsanya. Konsep kenegaraan dan rasa ingin merdeka yg tinggi dimunculkan pertama melalui simbol dan doktrinitas zendeling yang embrionya merujuk pada suatu sasaran utama yaitu berdirinya sebuah Negara. Konsep nasionalis kenegaraan Papua sebenarnya diambil dari persemaian konsep zendeling.
Disini kita secara jelas melihat bahwa pada tahun 1855 nasionalisme Papua itu lahir dan lebih dahulu dikenal jauh sebelum 1969 barulah Indonesia memulai dengan didikan Indonesia untuk menasionalisasikan Papua. Entahlah pada tahun itu nasionalisme Indonesia di bumi Kasuari benar-benar lahir ataukah tidak terlahir, karena kehadiran Indonesia pada tahun 1962 – 1969, rakyat Papua melakukan perlawanan untuk menolak hadirnya Indonesia di bumi Kasuari, akhirnya muncullah istilah “Separatis” yang dilekatkan kepada orang Papua yang ketika itu melakukan perlawanan kepada Indonesia dengan sebutan “Organisasi Papua Meredeka (OPM)”. Pembentukan Negara Papua merupakan embrio nasionalisme yang nyata yang dibentuk oleh kerajaan Belanda sedangkan rasa kecintaan Papua terhadap bangsanya terlahir dari didikan zendeling.
Perang revolusi yang dilakukan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1962 dengan perintah operasi mandala untuk; “bubarkan Negara boneka buatan Belanda di daratan Irian Barat” merupakan irisan luka awal kebencian Papua terhadap Indonesia sekaligus merupakan pupuk yang menyuburkan nasionalisme orang Papua terhadap bangsanya. Pembantaian terhadap orang Papua merupakan awal tirai pemisah yang membedakan orang Papua dan Indonesia, sehingga seringkali orang Papua mengatakan bahwa “kami ras melanesoid berbeda dengan ras melayu”. Terjadinya perbedaan ras itu muncul ketika orang Papua tidak diperlakukan dengan baik, dibunuh, diabaikan, didiskriminasikan, bahkan pendekatan Negara di Papua menggunakan militer yang berhujung pada pembunuhan dan pembantaian nyawa orang Papua semakin menjadi modal yang membangkitkan kebencian terhadap Indonesia dan memacu semangat kecintaan orang Papua terhadap tanah dan diri mereka sendiri tiada taranya.
Selanjutnya peristiwa PEPERA dianggap gagal oleh orang Papua karena tidak sesuai dengan instruksi PBB bahwa “one man one vote” yaitu “satu orang satu suara” tidak dilaksanakan ketika itu karena Indonesia melakukan represifitas terhadap masyarakat Papua dan juga Indonesia hanya mengambil setiap kepala suku mewakili orang Papua dari masing-masing suku di Papua untuk melakukan pemilihan Penentuan Pendapat Sendiri (PEPERA) dengan menggunakan dua pertanyaan; (1) Ikut Indonesia, atau (2) merdeka sendiri. Kedua pertanyaan itu pun konsekwensinya adalah ketika menjawab ikut Indonesia, pasti hidup jika menjawab meredeka maka ditembak mati. Metode yang dipakai Indonesia ketika itu adalah menekan psikologis dengan menembak, ada yang memberikan rayuan dengan wanita cantik, ada pula dengan janji Negara bahwa akan memberikan jabatan khusus di Negara Indonesia, dan lain sebagainya. Orang Papua yang tergiur oleh janji-janji jabatan, wanita dan uang ketika PEPERA selanjutnya dikawal oleh pemerintah.
Dengan diadakannya PEPERA maka disinilah permulaan retaknya nasionalisme kepapuaan, dimana kelompok yang satu tetap setia kepada nasionalisme Papua, disebut kelompok OPM atau sering juga dikatakan sebagai kelompok “M” dan satu sisi lagi kelompok pro nasionalisme Indonesia yang disebut kelompok “Merah Putih”. Orang Papua yang akan menjadi pejabat pasti memposisikan dirinya secara baik agar mendapat legitimasi di Negara, walaupun mereka telah sadar tentang siapa dia dan apa identitas jati dirinya sebagai orang Papua. Inilah konsepsi ganda dalam dua nation yang kita maksudkan dengan “Nasionalisme Ganda Papua”. Selain itu nasionalisme Indonesia tersemai melalui beberapa tokoh Indonesia yang diambil oleh pemerintah Belanda untuk ditugaskan di bumi Papua.
C. Kawin Silang Indonesia dan Papua yang
Melahirkan Nasionalisme Ganda Orang Papua.
Relevansi
Nasionalisme ganda orang Papua terjadi akibat kawin silang antar nasionalisme
Indonesia yang terbangun oleh tokoh-tokoh pejuang Indonesia sedangkan
nasionalisme Papua terbangun oleh para zendeling, yang mana keduanya bermuara
dari pangkal konsepsi idelogi masing-masing, yaitu Indonesia dengan ideologinya
dan Papua dengan ideologinya.
Mengurai
benang pangkal dinamika pergolakan rakyat Papua dari beberapa aspek yaitu
historis, ideologis dan politis yang bermuara pada satu titik, yaitu,
nasionalisme. Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia, masalah
ke-papua-an dan ke-indonesia-an menjadi pangkal dinamika yang melahirkan
pergolakan rakyat Papua sampai hari ini. Pergolakan yang sesungguhnya bukan
karena soal kepemerintahan Negara melainkan karena Papua tidak menyadari bahwa
oleh karena Papua TUHAN rela dan memperbolehkan nama-Nya disebutkan. Sebab
dalam 10 hukum, telah diperingatkan kepada manusia bahwa nama Tuhan tidak boleh
disebutkan dengan sembarang. Tuhan telah bertanggung jawab atas tanah ini,
namun karena ketidaksetiaan Papua sendiri mengakibatkan perpecahan didalam
nasionalisme Papua. Begitupun seperti bangsa Israel ketika menantikan musa
begitu lama sehingga mereka mulai membuat patung berupa lembu yang terbuat dari
emas dan sujud menyebah baginya, sehingga ketika Musa turun dari gunung Sinai
dan melihatnya demikian membuatnya marah dan memisahkan bangsa Israel menjadi
dua kelompok, dimana yang setia dengan iman kepada Tuhan dan yang telah
menyembah patung yang mana kita bisa simpulkan bahwa kejadian itu menunjukkan
dualism iman (Keluaran 32:1-27).
Munculnya
dua nasionalisme di Papua, yaitu nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia,
merupakan situasi yang dilematis dalam pemahaman sejarah Papua sebagai bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D. Nasionalisme Papua?
Sejarah
peradaban Papua mencatat bahwa perkembangan peradaban Papua dimulai oleh para
zendeling gereja tahun 1855. Pada tahun ini pula identitas Papua dibangun diatas
adat dan budaya mereka melalui didikan zendeling di sekolah, nyanyian dan
lagu-lagu yang dinyanyikan, karangan-karangan yang melukiskan kepapuaan,
maklumat serta deklarasi zendeling tentang masa depan Papua yang mendoktrin
rasa kecintaan terhadap Papua. Inilah kekuatan besar yang melahirkan
nasionalisme Papua.
Belanda
secara resmi menguasai Papua pada tahun 1828 setelah mendirikan benteng di
Lobo, Teluk Triton (sekarang wilayah Kabupaten Kaimana) sementara pos
pemerintahan Hindia Belanda baru didirikan pada tahun 1898. Sistem
administratif yang diterapkan Pemerintah Belanda di Papua berbeda dengan sistem
administrasi yang diterapkan di daerah lain dalam wilayah Hindia Belanda.
Biasanya Pemerintah Belanda menunjuk pemimpin lokal sebagai pejabat pemerintah.
Di Papua, kelompok sosial terdidik sangat sedikit sehingga memanfaatkan dari
Maluku, khususnya Ambon, untuk bidang pemerintahan. Sebagai akibatnya muncul
dua lapis sistem kolonial di dalam masyarakat Papua.
Sistem
pemerintahan yang bersifat dual
colonialism yang diperankan kelompok atas, yakni segelintir orang
Belanda, dan kelompok bawah, yaitu mayoritas orang Indonesia yang melakukan
kontak dengan orang Papua menjadi akar masalah yang akhirnya menimbulkan
perasaan saling berbeda antara orang Papua dan orang Indonesia. Dalam berbagai
konflik, Orang Papua cenderung memusuhi orang Indonesia daripada orang Belanda.
Bersemainya
kesadaran kepapuaan sebagai suku bangsa tidak lepas dari peran misi Katolik dan
zending Protestan yang sudah dimulai sejak tahun 1855, jauh sebelum pos
pemerintah Belanda didirikan pada tahun 1898. Mereka memperkenalkan penggunaan
bahasa Melayu dan budaya Melayu serta ide Barat kepada orang Papua.
Ini
berlangsung hingga Jepang menginjakkan kakinya di Hindia pada April 1942 yang
selanjutnya menguasai Merauke. Berbeda dengan sikap orang Papua terhadap
Belanda, sikap mereka terhadap Jepang lebih cenderung menentang karena Jepang
kejam. Karena itu, ketika Sekutu mendarat di Hindia pada April 1944, dianggap
sebagai pembebas dari Jepang. Mereka membantu Sekutu mengusir Jepang.
Kedatangan Sekutu, menurut Lagerberg (1979), memotivasi masyarakat Papua
memikirkan kembali identitas mereka.
Sementara
itu, nasionalisme Indonesia di Papua disemai tokoh-tokoh nasionalis mulai akhir
1945 ketika residen Van Eechoud merekrut beberapa orang Indonesia sebagai
pegawai pemerintah, di antaranya Soegoro Atmoprasodjo yang ditunjuk sebagai
pengajar dan direktur asrama pada Kursus Singkat Pamong Praja di Kota Nica.
Kesempatan ini digunakan Soegoro untuk meyakinkan para siswanya untuk berpikir
bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Beberapa orang yang menempuh
pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik
antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas
Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Lukas
Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan.
Selepas
dari tahun 1945, nasionalisme Indonesia pun mulai muncul ke permukaan ketika
dilakukan PEPERA, di mana tokoh-tokoh Papua terpelajar dijadikan sebagai tim
Indonesia yang mengkampanyekan Indonesia kepada orang Papua. Selain itu, adanya
pemaksaan dan intimidasi yang memaksa orang Papua harus ikut dengan metode syok
terapi sehingga membuat mereka takut dan selalu mengakui keberadaan Indonesia
di bumi Kasuari. Kita menemukan aspek-aspek pembentukkan nasionalisme Papua dan
juga nasionalisme Indonesia sehingga kita memakainya dengan istilah
nasionalisme ganda yang terbangun di Papua.
Amin...Tuhan Yesus Berkati
BalasHapus